Jakarta, pagi itu, langit masih buram, udara belum sepenuhnya bangun dari tidur malamnya. Di sudut gang sempit kawasan Cakung, seorang pria tua berkemeja lusuh tampak mendorong gerobak penuh kardus. Tak ada yang menoleh. Tak ada yang peduli. mg 4d Tapi siapa sangka, pria yang dulu disebut “Pak Mulung” oleh anak-anak kampung, kini duduk di balik meja kaca di kantor pusat perusahaan daur ulang terbesar se-Asia Tenggara. Namanya Muhammad Suyatno, dan kisah hidupnya bukan cuma menginspirasi, tapi juga bikin hati siapa pun yang dengar langsung meleleh.
Semua Dimulai dari Sisa Sampah dan Harapan Tipis
Suyatno kecil lahir di keluarga yang bahkan tak sanggup membeli buku tulis. Ia tak sempat sekolah, tak sempat bermain seperti anak-anak lainnya. Di usia 9 tahun, ia sudah mengenal aroma busuk tempat sampah dan suara logam bekas yang berdenting di dalam karung gendongannya. “Waktu teman-teman main kelereng, saya sibuk cari botol plastik,” kenangnya sambil tersenyum lirih.
Ayahnya meninggal karena TBC, ibunya sakit-sakitan. Suyatno terpaksa menjadi tulang punggung keluarga sejak masih bau keringat anak-anak. Setiap pagi, ia berangkat memulung. Malam, ia mencuci botol dan kardus lalu menjualnya ke lapak pengepul. Dalam sehari, paling tinggi ia dapat lima ribu rupiah.
Uang Recehan yang Ditabung Selama 17 Tahun
Apa yang ia lakukan dengan uang itu? Sebagian untuk makan. Sisanya? Ditabung. Di dalam kaleng biskuit bekas, di bawah tempat tidur reotnya, ia simpan lembar demi lembar rupiah hasil jerih payahnya. “Saya enggak tahu buat apa. Tapi saya percaya, suatu hari Tuhan pasti buka jalan,” katanya pelan.
Selama 17 tahun, ia hidup dalam siklus yang sama. Mulung. Jual. Makan. Nabung. Hujan, panas, banjir, ia tetap jalan. Orang-orang menyebutnya gila. Tapi ia tak peduli. “Bukan mereka yang hidupin ibu saya,” jawabnya pendek.
Titik Balik: Satu Hari, Satu Ide Gila
Di tahun 2003, ketika usianya menginjak 30 tahun, Suyatno melihat sesuatu yang mengubah hidupnya: seorang bule turun dari mobil mewah dan mengambil satu botol plastik dari tong sampah di Senayan. Ia mengamatinya. Si bule itu memasukkan botol ke dalam tas kain, lalu pergi. Karena penasaran, Suyatno mengikutinya.
Ternyata bule itu adalah peneliti dari Belanda, sedang mengumpulkan data daur ulang plastik di negara berkembang. Tapi yang membuat Suyatno tercengang adalah satu kalimat yang dilontarkan si bule itu: “Di negara saya, satu botol plastik bisa jadi duit jutaan.”
Kalimat itu mengguncang kepalanya. Malam itu ia tak bisa tidur. Ia mulai membayangkan: bagaimana kalau botol bekas yang selama ini ia jual seharga Rp 200 itu bisa diolah sendiri? Bagaimana kalau ia bisa buat usaha sendiri?
Dari Gerobak ke Gudang Sederhana
Dengan modal hasil menabung bertahun-tahun, ia mulai menyewa sebidang tanah kecil di pinggiran Bekasi. Ia beli mesin pencacah plastik bekas dari pasar loak. Tak ada yang percaya ia bisa. Bahkan pedagang loak pun tertawa saat ia menawar mesin itu. “Buat apa kamu, Bang? Mau buka pabrik?” sindir mereka.
Tapi Suyatno diam saja. Ia mulai mengumpulkan botol, mencuci, mencacah, dan menjual serpihan plastik ke pabrik besar. Lambat laun, usahanya mulai dikenal. Ia tidak lagi hanya memulung, tapi juga membeli dari pemulung lain. Ia menamai usahanya “Sinar Bumi Bersih”. Nama sederhana, tapi punya makna mendalam: cahaya dari tanah yang kotor.
Ujian Bertubi-Tubi dan Hampir Menyerah
Tapi roda hidup tak selalu di atas. Di tahun 2008, gudangnya terbakar. Api melahap semua mesin dan stok barang. Uangnya habis. Ia kembali ke nol. Tapi anehnya, ia tak menangis. Ia justru bersyukur.
“Kalau saya nyerah, saya beneran jadi pemulung selamanya. Tapi kalau saya lanjut, siapa tahu bisa bangkit lagi.”
Dengan sisa uang pinjaman dari koperasi, ia membangun gudang baru. Lebih kecil, tapi lebih kuat. Ia juga mulai mempekerjakan pemuda pengangguran di kampungnya. Dari tiga orang, jadi sepuluh, lalu dua puluh.
Sinar Bumi Bersih Jadi Raksasa Baru
Tahun 2015 jadi tahun emas bagi Suyatno. Usahanya meledak. Ia dapat kontrak besar dari perusahaan multinasional yang membutuhkan serpihan plastik daur ulang untuk kemasan ramah lingkungan. Namanya mulai dikenal. Wartawan datang. TV menyorot. Tapi ia tetap sama: sederhana, bersahaja, dan selalu ingat masa lalu.
Kini, perusahaannya punya lebih dari 500 karyawan. Ia membangun sekolah gratis untuk anak-anak pemulung. Ia mendirikan klinik murah di sekitar pabrik. Dan yang paling menyentuh: ia menyewa rumah khusus untuk para lansia yang terlantar, lengkap dengan perawat dan makanan bergizi.
Kisahnya Viral, Netizen Tak Bisa Tahan Air Mata
Setelah kisahnya diangkat oleh salah satu channel YouTube inspiratif, video itu langsung viral. Dalam waktu 24 jam, ditonton lebih dari 7 juta kali. Kolom komentar penuh dengan pujian dan rasa haru.
“Saya nangis nonton ini. Hidup saya jauh lebih enak, tapi saya sering ngeluh,” tulis seorang netizen.
“Pak Suyatno buktiin kalau sukses bukan tentang gelar, tapi niat, sabar, dan tekad,” kata yang lain.
Bahkan, tagar #BelajarDariPakSuyatno sempat jadi trending di Twitter selama dua hari berturut-turut.
Undangan dari Istana, Tapi Jawaban yang Mengejutkan
Presiden pun ikut mendengar kisahnya. Pak Suyatno diundang ke Istana Negara untuk menerima penghargaan sebagai “Tokoh Inspiratif Nasional”. Tapi jawaban beliau bikin semua orang tercengang.
“Kalau boleh, saya titip kursi ini buat teman-teman pemulung yang lain. Mereka juga berjuang. Saya cuma satu dari ribuan orang hebat yang belum kelihatan.”
Presiden menunduk dan memeluknya. Air mata tumpah. Para pejabat yang hadir pun ikut haru. Momen itu terekam kamera dan jadi berita utama di berbagai media nasional.
Rahasia Hidupnya? Satu Kata yang Tak Pernah Ia Tinggalkan
Ketika ditanya apa rahasia hidupnya, ia hanya menjawab satu kata: “Ikhlas.”
“Kalau kita ikhlas, kita enggak marah waktu diremehkan. Enggak dendam waktu dijatuhkan. Kita kerja, bukan buat dipuji. Kita bantu orang, bukan buat viral. Tapi Tuhan lihat. Itu cukup.”
Jawaban itu bukan sekadar kata-kata. Itu filosofi hidup yang dibentuk dari derita, air mata, dan perjuangan panjang.
Penutup: Dari Sampah Kehidupan, Lahir Berlian Sejati
Kisah Suyatno bukan sekadar cerita sukses. Ini adalah cermin bagi kita semua. Bahwa setiap orang, bahkan yang hidup dari tumpukan sampah sekalipun, punya potensi untuk bersinar.
Ia bukan lulusan luar negeri. Ia tak punya koneksi, tak punya modal besar. Tapi ia punya hati. Dan dari hati yang penuh ketulusan itulah lahir kekuatan luar biasa yang mengubah nasib, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk ratusan bahkan ribuan orang di sekitarnya.
Mungkin, setelah membaca ini, kamu akan mulai memandang pemulung dengan cara berbeda. Siapa tahu, mereka bukan sedang mengais sampah. Tapi sedang merangkai mimpi yang kelak akan mengubah dunia.
Dan kalau kamu sedang merasa hidupmu berat, ingatlah: ada seorang pria yang pernah berjalan kaki berkilometer sambil membawa kardus basah hanya demi sesuap nasi, dan kini ia duduk di kursi direksi, tak pernah lupa dari mana ia berasal.